|
|
||||||||||||||||
F. Masalah al-Akdariyah
Istilah al-akdariyah muncul karena
masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari bani Akdar. Sedangkan sebagian ulama mengatakan
bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah --yang artinya
'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup mengotori mazhab Zaid
bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan kemahirannya
dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris dan memvonisnya
dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari kaidah-kaidah
faraid yang masyhur. Permasalahannya seperti berikut: bila
seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, kakek, dan seorang
saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah yang telah
disepakati seluruh fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendirimaka
pembagiannya adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab,
suami mendapat setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian,
dan sisanya hanya seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian kakek yang
tidak mungkin digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab
itu, sudah semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena
tidak ada sisa harta waris. Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin
Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Dia memberi saudara
kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan masalahnya dari enam (6) menjadi
sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak saudara kandung perempuan dengan
saham kakak, dan membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian
wanita. Setelah ditashih, masalahnya menjadi dua puluh tujuh (27), dan
pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian, ibu enam
(6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4)
bagian. Dalam hal ini Imam Malik dan Imam
Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit, sehingga
menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut. Berikut ini saya sertakan tabelnya,
dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya hingga setelah ditashih. Masalahnya adalah dari enam (6)
Adapun tabel setelah ditashih menurut
al-akdariyah seperti berikut: Masalahnya naik dari enam (6)
menjadi dua puluh tujuh (27)
Catatan Dalam masalah al-akdariyah ini sosok
ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada salah satu yang diubah, maka
berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam. |
|
||||||||||||||||
|
|
IX.
HUKUM MUNASAKHAT
A. Definisi Munasakhat
Al-munasakhat dalam bahasa
Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam kalimat nasakhtu
al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain';
nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan
bayang-bayang'.
Makna yang pertama --yakni
memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
"... Sesungguhnya Kami
telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna yang kedua
sesuai dengan firman berikut:
"Ayat mana saja yang
Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (al-Baqarah:
106)
Adapun pengertian
al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli
waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli
warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum
menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), maka hak warisnya
berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu masalah
yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.
Al-munasakhat mempunyai
tiga macam keadaan:
Keadaan
pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan
sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak
berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang
wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak
itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris
kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya
dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal
itu tidak ada dari awalnya.
Keadaan
kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris
dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka
terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri
yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri
kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal,
berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga
perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta
waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah
sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu
terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan
yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak.
Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki
terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang
perempuan sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya
akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut
oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.
Keadaan
ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris
pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima
waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam
hal seperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian
bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.
|
|
XI. HAK WARIS BANCI DAN
WANITA HAMIL A. Definisi Banci
Pengertian al-khuntsa (banci) dalam
bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'.
Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara
jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok.
Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah SWT melaknat laki-laki yang
menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki." Adapun makna khanatsa menurut para
fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita
(hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan
yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak
ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang
jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin seseorang
akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris
sesuai bagiannya. Oleh karena itu, adanya dua jenis
kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada-- -disebut sebagai
musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun
dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan
mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya
keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak
waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari
vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum
wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis
dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa
munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh. Di samping melalui cara tersebut,
dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya, atau
mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki
dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya
mimpi dengan mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah
tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila
tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa
musykil. Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb
dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika ia
dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita
melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai
laki-laki dan perempuan. Mendengar jawaban yang kurang
memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis
tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena
memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir
dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan
majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya,
dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah
dengan cara melihat dari mana keluar air seninya." Amir merasa puas dengan gagasan
tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang
telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya
air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila
keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonis ini
diterima secara aklamasi. Ketika Islam datang, dikukuhkanlah
vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw.
ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan demikian, maka
beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat keluarnya air
seni." |
|
|
|
D. Hak Waris Orang yang
Tenggelam dan Tertimbun
Betapa banyak kejadian dan
musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat sedikit
di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran). Terkadang kejadian dan
musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini sering kali
membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian manusia
berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam
menghadapinya.
Hanya orang-orang mukmin
yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan cobaan,
karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang teguh
pada salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang
menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka
--jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita
berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".
Begitulah kehidupan dunia
yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa dan merasa lapang
dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh karenanya
tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah diri
kepada-Nya. Perhatikan firman Allah SWT berikut:
"... Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi
raaji'un.'" (al-Baqarah: 155-156)
Bukan sesuatu yang mustahil
jika dalam suatu waktu dua orang bersaudara bepergian bersama-sama menggunakan
pesawat terbang atau kapal laut, lalu mengalami kecelakaan. Atau mungkin saja
terjadi bencana alam yang mengakibatkan rumah yang mereka huni runtuh, sehingga
sebagian anggota keluarga mereka menjadi korban. Maka jika di antara mereka ada
yang mempunyai keturunan, tentulah akan muncul persoalan dalam kaitannya dengan
kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaan pemberian hak waris kepada
masingmasing ahli waris?
Kaidah Pembagian Waris
Orang yang Tenggelam dan Tertimbun
Kaidah yang berlaku dalam
pembagian hak waris orang yang tenggelam dan tertimbun yaitu dengan menentukan
mana di antara mereka yang lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah
diketahui dengan pasti, pembagian waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan
memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua
(yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi
berpindah kepada ahli warisnya yang berhak. Begitulah seterusnya.
Sebagai contoh, apabila dua
orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang meninggal
seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka
yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup
yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut
ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli
waris pada saat kematian pewaris.
Sedangkan jika keduanya
sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara
keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang
telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: "Tidak ada hak
saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan,
dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta
yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."
Hal demikian, menurut para
ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan
hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli
waris dari kerabat yang masih hidup.
Sebagai contoh, dua orang
bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu meninggalkan istri, anak
perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkan yang satunya lagi
meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki paman kandung (sepupu yang
pertama disebutkan). Maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat
seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama setengah (1/2), dan
sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah.
Adapun bagian kedua anak
perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya merupakan
bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah.
Misal lain, suami-istri
meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak laki-laki. Suami-istri itu
masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri pernah mempunyai anak
laki-laki dari suaminya yang dahulu, begitupun sang suami telah mempunyai istri
lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
Harta istri yang meninggal
untuk anaknya, sedangkan harta suami yang meninggal seperdelapannya (1/8)
merupakan bagian istrinya yang masih hidup, dan sisanya adalah untuk anak
laki-lakinya dari istri yang masih hidup itu. Kemudian, harta ketiga anak
laki-laki, seperenamnya (1/6) diberikan atau merupakan bagian saudara laki-laki
mereka yang seibu, dan sisanya merupakan bagian saudara laki-lakinya yang
seayah dengan mereka.
Pembahasan tentang hak
waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam atau tertimbun reruntuhan
atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari buku ini. Semoga apa yang
saya lakukan dapat memberikan banyak manfaat bagi para penuntut ilmu faraid,
amin. Allahlah yang memberi taufik dan petunjuk kepada kita, dan saya akhiri
pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb semesta alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar