Senin, 12 Juli 2021

Masalah al-Akdariyah



 

F. Masalah al-Akdariyah

Istilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari bani Akdar.

Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah --yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup mengotori mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan kemahirannya dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris dan memvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur.

Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, kakek, dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah yang telah disepakati seluruh fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendirimaka pembagiannya adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab, suami mendapat setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya hanya seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian kakek yang tidak mungkin digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidak ada sisa harta waris.

Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Dia memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan masalahnya dari enam (6) menjadi sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak saudara kandung perempuan dengan saham kakak, dan membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita. Setelah ditashih, masalahnya menjadi dua puluh tujuh (27), dan pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian, ibu enam (6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4) bagian.

Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit, sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut.

Berikut ini saya sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya hingga setelah ditashih.

Masalahnya adalah dari enam (6)

Suami mendapat setengah (1/2) secara fardh

3

Ibu mendapat sepertiga (1/3) secara fardh

2

Kakek mendapat seperenam (1/6) sisanya/fardh-nya

1

Saudara kandung perempuan mahjub

0

Adapun tabel setelah ditashih menurut al-akdariyah seperti berikut:

Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)

Bagian suami menjadi

9

Bagian ibu menjadi

6

Bagian kakek menjadi

8

Bagian saudara kandung perempuan menjadi

4

Catatan

Dalam masalah al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada salah satu yang diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam.

 

 

 

 


 

IX. HUKUM MUNASAKHAT

A. Definisi Munasakhat

Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.

Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:

"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-Jatsiyah: 29)

Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:

"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (al-Baqarah: 106)

Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.

Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:

Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.

Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.

Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.


 

 

 

XI. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMIL

A. Definisi Banci

Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki."

Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan.

Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya.

Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada-- -disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.

Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.

Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan.

Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya."

Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.

Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat keluarnya air seni."

 

 

 

 


 

D. Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun

Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran). Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam menghadapinya.

Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang teguh pada salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka --jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".

Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa dan merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah diri kepada-Nya. Perhatikan firman Allah SWT berikut:

"... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un.'" (al-Baqarah: 155-156)

Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam suatu waktu dua orang bersaudara bepergian bersama-sama menggunakan pesawat terbang atau kapal laut, lalu mengalami kecelakaan. Atau mungkin saja terjadi bencana alam yang mengakibatkan rumah yang mereka huni runtuh, sehingga sebagian anggota keluarga mereka menjadi korban. Maka jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentulah akan muncul persoalan dalam kaitannya dengan kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaan pemberian hak waris kepada masingmasing ahli waris?

Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun

Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang yang tenggelam dan tertimbun yaitu dengan menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah diketahui dengan pasti, pembagian waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak. Begitulah seterusnya.

Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris.

Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: "Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."

Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.

Sebagai contoh, dua orang bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu meninggalkan istri, anak perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkan yang satunya lagi meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki paman kandung (sepupu yang pertama disebutkan). Maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama setengah (1/2), dan sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah.

Adapun bagian kedua anak perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya merupakan bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah.

Misal lain, suami-istri meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak laki-laki. Suami-istri itu masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri pernah mempunyai anak laki-laki dari suaminya yang dahulu, begitupun sang suami telah mempunyai istri lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:

Harta istri yang meninggal untuk anaknya, sedangkan harta suami yang meninggal seperdelapannya (1/8) merupakan bagian istrinya yang masih hidup, dan sisanya adalah untuk anak laki-lakinya dari istri yang masih hidup itu. Kemudian, harta ketiga anak laki-laki, seperenamnya (1/6) diberikan atau merupakan bagian saudara laki-laki mereka yang seibu, dan sisanya merupakan bagian saudara laki-lakinya yang seayah dengan mereka.

Pembahasan tentang hak waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam atau tertimbun reruntuhan atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari buku ini. Semoga apa yang saya lakukan dapat memberikan banyak manfaat bagi para penuntut ilmu faraid, amin. Allahlah yang memberi taufik dan petunjuk kepada kita, dan saya akhiri pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb semesta alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar